KITAB SAFINAH BAGIAN I : BIOGRAFI SYAIKH SALIM BIN ABDULLAH BIN SA’AD BIN SUMAIR AL-HADHROMI (PENULIS KITAB SAFINATUNAJAH)

Minggu, 29 September 2019

0 komentar

1.     Nama dan Kelahiran
Al-Allamah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I, dikenal sebagai seorang ulama’ ahli fiqih (al-faqih), pengajar (al-mu’allim), hakim agama (al-qodhi), ahli politik (as-siyasi) dan juga ahli dalam urusan kemiliteran (al-khobir bisy-syu’unil ‘askariyah). Beliau dilahirkan didesa “Dzi Ashbuh” salah satu desa dikawasan Hadhromaut, Yaman. 

2.      Perkembangan dan pendidikan
Syekh Salim me¬mulai pendidikannya dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur'an di bawah peng¬awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Al-Allamah Abdullah bin Sa'ad bin Sumair, hingga beliau mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Lalu beliau ikut mengajarkan Al-qur’an sehingga beliau mendapat gelar “Al-Mu’allim”. Al Mu’allim adalah sebutan yang biasa diberikan oleh orang – orang Hadhromaut kepada seorang pengajar Al-Qur’an. Mungkin saja sebutan tersebut diilhami dari Hadits Nabi;
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (Shohih Bukhori, no.5027)

Beliau juga belajar ilmu – ilmu agama lainnya pada ayahnya dan pada ulama’ – ulama’ hadhromaut yang jumlahnya sangat banyak pada masa itu, yaitu pada abad ke – 13 Hijriyah. 

3.      Berdakwah dan Mengajar
Setelah belajar kepada beberapa ulama’ dan telah menguasai berbagai ilmu agama beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmunya, mulailah berdatangan para pernuntut ilmu untuk menimba ilmu pada beliau, diantara murid beliau yang masyhur adalah Al-Habib Abdulloh bin Thoha Al-hadar Al-Haddad dan Syekh Al-Faqih Ali bin Umar Baghuzah. Semenjak itu nama beliau menjadi masyhur dan dipuji dimana mana, setingkat dengan guru beliau, Asy-Syaikh Al-Allamah Abdulloh bin Ahmad Basudan.

4.      Keahlian dibidang politik dan kemiliteran
Selain penguasaan yang mendalam akan ilmu – ilmu agama, Syekh Salim juga dikenal sebagai seorang ulama’ yang ahli dalam urusan politik dan tim ahli dalam masalah perlengkapan peperangan. Dikisahkan, pada suatu ketika Syekh Salim diminta agar membeli per¬alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan mengirimnya ke Hadhromaut. Beliau juga merupakan salah seorang yang berjasa dalam mendamaikan Yafi’ dan Kerajaan Katsiriyah. 
Kemudian beliau diangkat men¬jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun lama kelamaan sang sultan  tidak lagi mau menuruti saran dan nasehat beliau dan bahkan meremehkan saran – saran beliau. Akhirnya beliau memutuskan untuk  hijrah menuju India, lalu beliau hijrah ke negara pulau jawa.
Tercatat di antara nama-nama gurunya adalah:
  1. Syekh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair 
  2. Syekh Abdullah bin Ahmad Basudan 
Setelah mendalami berbagai ilmu agama, di hadapan para ulama dan para gurunya yang terkemuka, beliau memulai langkah dakwahnya dengan berprofesi sebagai Syekh Al Qur'an. Di desanya, pagi dan sore, tak henti-hentinya beliau mengajar para santrinya dan karena keikhlasan serta kesa­barannya, maka beliau berhasil mencetak para ulama ahli Al-Qur'an di zamannya. Beberapa tahun berikutnya para santri semakin bertambah banyak, mereka berdatangan dari luar kota dan daerah-daerah yang jauh sehingga beliau merasa perlu untuk menambah bidang-bidang ilmu yang hendak diajar­kannya seperti: ilmu bahasa arab, ilmu fiqih, ilmu ushul, ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan ilmu taktik militer Islam. 

Syekh Salim telah berhasil mencetak para ulama yang terkemuka di zamannya, tercatat di antara mereka adalah:
  1. Habib Abdullah bin Toha Al-Haddar Al-Haddad. 
  2. Syekh Al Faqih Ali bin Umar Baghuzah. 
Selain sebagai seorang pendidik yang hebat, Syekh Salim juga seorang pengamat politik Islam yang sangat disegani, beliau banyak memiliki gagasan dan sumbangan pemikiran yang menjembatani persatuan umat Islam dan membangkitkan mereka dari ketertinggalan. Di samping itu beliau juga banyak memberikan dorongan kepada umat Islam agar melawan para penjajah yang ingin merebut daerah-daerah Islam.

Pada suatu ketika Syekh Salim diminta oleh kerajaan Kasiriyyah yang terletak di daerah Yaman agar membeli per­alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan India untuk keperluan tersebut. Pekerjaan beliau ini dinilai sangat sukses oleh pihak kerajaan yang kemudian mengangkat beliau sebagai staf ahli dalam bidang militer kerajaan. Dalam masa pengabdiannya kepada umat melalui jalur birokrasi beliau tidak terpengaruh dengan cara­-cara dan unsur kedholiman yang merajalela di kalangan me­reka, bahkan beliau banyak memberikan nasehat, kecaman dan kritikan yang konstruktif kepada mereka.

Pada tahun-tahun berikutnya Syekh Salim diangkat men­jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun sayang, pada tahun­-tahun berikutnya ia tidak lagi menuruti saran dan nasehat beliau, bahkan cenderung meremehkan dan menghina, kon­disi tersebut semakin memburuk karena tidak ada pihak-pihak yang mampu mendamaikan keduanya, sehingga pada puncaknya hal itu menyebabkan keretakan hubungan antara keduanya. Dengan kejadian tersebut, apalagi melihat sikap sultan yang tidak sportif, maka Syekh Salim memutuskan untuk pergi meninggalkan Yaman. Dalam situasi yang kurang kondusif akhirnya beliau meninggalkan kerajaan Kasiriyyah dan hijrah menuju India. Periode ini tidak jelas berapa lama beliau berada di India, karena dalam waktu berikutnya, beliau hijrah ke negara Indonesia, tepatnya di Batavia atau Jakarta.

Sebagai seorang ulama terpandang yang segala tindakan­nya menjadi perhatian para pengikutnya, maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat, mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta do'a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlis-­majlis tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus diha­dapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mende­kat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda. Martin van Bruinessen dalam tulisan­nya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita ini. 

Dalam beberapa alenia dia menceritakan per­bedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara dua orang ulama besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair yang telah menjadi perdebatan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya Syekh Salim kurang setuju dengan pendirian Sayyid Usman bin Yahya yang loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman bin Yahya sendiri pada waktu itu, sebagai Mufti Batavia yang diangkat dan disetujui oleh kolonial Belanda, sedang berusaha menjem­batani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) dengan pemerintah Belanda, sehingga beliau merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya. 

Oleh karena itu, beliau mem­berikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Setelah berdua bertemu dan berdiskusi langsung mendapat penjelasan yang jitu dan mantap atas siasat dan strategi Sayyid Utsman bin Yahya maka Syaekh Salim taslim dan paham atas segala tindakan Habib Utsman bin Yahya yang terjadi pada waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti de­ngan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar. 

Walaupun Syekh Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur'an. Salah satu temannya yaitu Syekh Ahmad Al-Hadhrawi dari Mekkah mengatakan: "Aku pernah melihat dan mendengar Syekh Salim menghatamkan Al Qur'an hanya dalam keadaan Thawaf di Ka'bah". Syekh Salim meninggal dunia di Batavia pada tahun 1271 H (1855 M). Beliau telah meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab Safinah yaitu kitab yang sudah kita terjemahkan ini. Al-Fawaid AI-Jaliyyah. Sebuah kitab yang mengecam sistem perbankan konfensional dalam kaca mata syari'at 

5.      Wafat
Syaikh  Salim meninggal di Batavia pada tahun 1271 Hijriyah.

Referensi :
1)      Ghoyatul Muna Syarah Safinatun Naja, hal : 10 – 11
2)  Terjemahan Kitab Safinatun Najah, Fiqh Ibadah Praktis Dan Mudah Terjemahan Dan Penjelasan. Penulis : KH. Ust, Yahya Wahid Dahlan

MENGHADIAHKAN PAHALA BACAAN (AL-QUR’AN), SHODAQOH DAN AMAL BAIK UNTUK ORANG YANG SUDAH MATI

0 komentar


Menghadiahkan pahala bacaan, shodaqah dan amal sholeh merupakan salah satu dari sekian banyak furu’ khilafiyah yang seharusnya tidak mendorong terjadinya fitnah, pertengkaran, perdebatan dan sikap antipati kepada orang yang melakukannya dan yang menentangnya. Kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh sesama saudara muslimnya. Karena masing-masing pihak tentu memiliki alasan dan argumentasi sendiri yang membenarkan amaliahnya.
-------------------------------------------------------
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Mayit dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat Al-Qur`an orang lain yang dihadiahkan kepadanya, sebagaimana ia juga dapat mengambil manfaat dari pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan sejenisnya.[1]

Imam Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab Ar-Ruh : “Sebaik-baik pahala yang dihadiahkan kepada mayit adalah pahala shadaqahistighfar, mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala bacaan ayat Al-Qur`an yang dihadiahkan secara sukarela oleh pembacanya kepada si mayit, dan bukan karena dibayar, hal semacam ini pun sampai kepada si mayit, sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji kepadanya”.[2]

Imam Ibnul Qayyim mengatakan lagi di bagian lain dari kitabnya, bahwa  yang lebih utama ketika melakukannya (membaca Al-Qur`an) adalah hendaknya diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak disyaratkan  untuk melafalkan niatnya.

Kedua pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim tersebut pernah dinukil oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan seorang mufti Mesir.  Kemudian beliau menyatakan: menurut pendapat ulama madzhab hanafi, bahwa orang yang melakukan amal ibadah, baik yang berbentuk shadaqah, bacaan ayat Al-Qur`an, maupun amal sholeh lainnya, ia boleh menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan kiriman pahala tersebut sampai kepadanya.[3]

Didalam kitab Fathul Qadir diriwayatkan sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw, beliau bersabda,
مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَ قَرَأَ  قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ, ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ, اُعْطِيَ مِنَ الْأَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ.
Artinya : “Siapa saja yang melewati lokasi pekuburan dan membaca Qul huwallohu ahad (surat al-Ikhlash) sebelas kali, lantas pahala bacaannya dihadiahkan kepada para mayit, maka ia diberi pahala sejumlah mayit itu”. [4]

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang : “Sungguh, aku bersedekah atas nama mereka, berhaji atas nama mereka dan berdoa memohon kebaikan untuk mereka. Apakah pahala amal yang demikian itu sampai kepada mereka?”. Jawab beliau :
نَعَمْ, اَنَّهُ لَيَصِلُ اِلَيْهِمْ وَ اَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُمْ بِالطّبْقِ اِذَا اُهْدِيَ اِلَيْهِ
Artinya : “Ya, pahalanya tentu akan sampai kepada mereka dan mereka pun merasa gembira dengan kiriman tersebut, sebagaimana kegembiraan salah seorang diantara kalian sewaktu menerima hadiah sepiring makanan”.[5]

Ulama syafi’iyah  sepakat, bahwa pahala shadaqah dapat sampai kepada mayyit. Namun tentang pahala bacaan ayat Al-Qur`an ikhtilaf  (berbeda pendapat), menurut pendapat yang terpilih – sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj - juga sampai kepada si mayit.  Sebaiknya kita kokoh berpegang pada pendapat yang terpilih ini, karena ini merupakan suatu doa.

Di kalangan ulama madzhab maliki pada umumnya tidak ada perselisihan pendapat dalam  hal sampainya pahala shadaqah kepada mayit. Yang mereka diperselisihkan ialah tentang bolehnya menghadiahkan pahala bacaan (Qur`an dan kalimat thoyyibah lainnya) kepada si mayit. Namun pada prinsipnya, madzhab maliki memakruhkan hal itu.

Sedangkan para ulama mutakhirin membolehkan pengiriman hadiah pahala bacaan, sebagaimana yang tercermin dalam amaliyah (tradisi) yang sudah berjalan selama berabad-abad di tengah masyarakat, dan pahala yang dikirimkannya pun dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun menukil suatu pendapat yang menyatakan bahwa sampainya pahala bacaan kepada mayit merupakan pendapat yang terunggul.

Didalam kitab Al-Majmu` yang ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan, bahwa al-Qadhi Abu ath-Thayyib pernah ditanya soal mengkhatamkan Al-Qur`an di makam. Jawabnya, bahwa orang yang membaca akan  mendapatkan pahala, sementara mayit (yang ada di makam  itu) bagaikan orang-orang yang hadir menyimak, dimana mereka berharap memperoleh  rahmat dan  keberkahan dari bacaan Al-Qur`an tersebut. Atas dasar ini, maka membaca Al-Qur`an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca Al-Qur`an lebih mudah dikabulkan dan bermanfaat bagi si mayit.

Imam  An-Nawawi didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari sekelompok ashabus-syafi’iy, bahwa pahala bacaan (Al-Qur`an dan kalimat thoyyibah lainnya) dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama` lainnya.

Didalam kitab Al-Mizan al-Kubra yang ditulis oleh Imam Al-Sya’rani dijelaskan, bahwa perselisihan pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala bacaan memang cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dalil sendiri-sendiri. Namun menurut sebagian madzhab Ahlissunnah, seseorang hendaklah menghadiahkan pahala amal sholehnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada akhir pembahasan tentang Jenazah).

Wallahu'alam

-Semoga Bermanfaat-

[1]  Iqtidla' as-Shirat al Mustaqim II/261. Dalam Majmu' al-Fatawa 24/164 Ibnu Taimiyah menegaskan sampainya kiriman bacaan tahlil, tasbih, takbir dan dzikir lainnya bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal. Ini berdasarkan Hadits berikut:
“Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah SEDEKAH, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dhuha.” [Hadits riwayat: Muslim no.1674].

[2]   Ar-Ruh I/142.

[3]  Fatawa Hasanain Makhluf I/52
 “Dan ‘Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya”.” (HR.Muslim, :1672).

[4]  HR ar-Rafi'i dalam Tarikh Quzwain II/297, sebagaimana dikutip oleh Syaikh al-'Ajluni dalam Kasyf al-Khafa' II/272
Senada dengan itu, Abul Qasim Sa’d bin ‘Ali az-Zanjaniy dalam Fawaidi nya mentakhrij hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra, katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَأَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ ثُمَّ قَالَ إِنِّي جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Artinya:”Siapa saja yang masuk ke pekuburan, lalu membaca QS Al-Fatihah, QS Al-Ikhlash dan QS At-Takatur, kemudian mengatakan “Aku jadikan / hadiahkan pahalaku dari membaca firman-Mu tersebut untuk ahli kubur dari kalangan kaum mukminin dan mukminat”, maka mereka memperoleh syafaat / pertolongan Allah SWT.”.

Penulis Al-Khollal dengan sanadnya meriwayatkan hadis dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاتٌ
Artinya: “Siapa yang masuk ke pekuburan, lalu membaca surat Yaasiin, maka Allah SWT memperingan siksaan mereka, dan si pembaca memperoleh ganjaran sejumlah ahli kubur yang ada di situ”.

Baca kitab ‘Umdatul Qari syarh Shahih al-Bukhari (IV/497)tulisan Badruddin al-‘Aini; kitab Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur(I/303), tulisan Imam Jalaluddin as-Suyuthi; dan Ahkam Tamanny al-Maut (p. 75) tulisan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab al-Hambali

[5])  KH Ali Maksum mengutip hadis ini dari Fatawa Hasanain Makhluf I/52. Tapi hadis ini juga dikutip oleh Syaikh Badruddin al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XIII/154 dengan sanad yang bersambung (muttashil), yaitu dari riwayat Ibnu Makula dari Ibrahim Ibnu Hibban dari Anas bin Malik

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

INSAN MANDIRI FARM iNDONESIA
Lihat profil lengkapku

Domain .COM Termurah

Hosting Unlimited Indonesia